Selasa, 04 November 2008
di
22.21
|
HAK IMUNITAS DAN INTERPELASI
SELAMA kurun waktu Januari 2004-Januari 2005, ada 8 anggota dan 2 mantan
anggota legislatif pusat, 22 orang anggota legislatif provinsi, 2 orang
gubernur, 13 bupati dan 5 wali kota diduga melakukan tindak pidana korupsi,
telah dinyatakan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dan kejaksaan di
berbagai daerah. Angka-angka itu belum termasuk anggota legislatif kabupaten
dan kota.
Merebaknya anggota legislatif dan eksekutif menjadi tersangka, inilah
yang dipertanyakan oleh Komisi II dan III DPR kepada Jaksa Agung dalam rapat
kerja, Selasa (17/2). Rupanya rapat itu tidak saja berjalan alot, tetapi memicu
kesalahpahaman terhadap penafsiran ungkapan "seperti ustaz di kampung maling".
Agustin Teras Narang yang memimpin rapat pada saat itu, terpaksa buru-buru
mengetok palu menyatakan rapat ditutup. Pro-kontra penafsiran atas ungkapan
yang dilontarkan Anhar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Bintang Reformasi,
membuat gerah para jaksa yang hadir mendampingi Jaksa Agung saat itu. Muaranya
pimpinan DPR meminta presiden menegur jaksa agung. Ungkapan "seperti ustaz di
kampung maling" yang ditujukan kepada jaksa agung ini, perlu dicermati lebih
jauh makna dan hakikatnya dan apa implikasinya dengan hak imunitas legislatif.
Dari terminologi hukum kata imunitas dalam bahasa Inggris immunity
berarti kekebalan, kata lainnya imunis yang menyatakan "tidak dapat diganggu
gugat". Terkait dengan tindakan seseorang dalam lingkup tertentu seperti korps
diplomatik atau anggota legislatif. Black's Law Dictionary mencantumkan istilah
legislative immunity yang pada intinya bermakna hak kekebalan yang diberikan
Konstitusi Amerika Serikat kepada anggota Kongres, pertama, tidak boleh
ditangkap pada saat sidang, kecuali terhadap tidak pidana makar, kejahatan
berat seperti pembunuhan dan terhadap pelanggaran perjanjian perdamaian. Kedua,
untuk setiap pidato atau debat yang dilakukan di parlemen, mereka itu mempunyai
hak kekebalan, baik itu opini, pidato, debat atau penyampaian pendapat, juga
dalam pengambilan suara, laporan tertulis, dan penyampaian petisi secara umum
yang dirasa penting oleh anggota dilakukan dalam rangka tugas legislatif. Bahkan terhadap adanya tuduhan dengan motif yang tidak
jelas melakukan hal-hal di atas, tidak menghapuskan imunitas mereka, sepanjang
dilakukan untuk kepentingan publik.
Pasal 28 huruf f UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD, menggariskan anggota DPR mempunyai hak imunitas atau hak
kekebalan hukum dan selanjutnya oleh penjelasannya ditafsirkan bahwa hak
imunitas itu adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena
pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan
pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Rumusan Pasal 28 huruf f tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan Pasal 103 ayat 1 yang menyatakan hak kekebalan tersebut
dibatasi yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan
Kode Etik Lembaga.
Kemudian oleh penjelasannya dikatakan mengingat anggota legislatif
memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah, sehingga dalam hal
mengajukan pertanyaan dan pernyataan harus dilakukan dengan tata cara
mengindahkan etika politik dan pemerintahan dan senantiasa menggunakan tata
krama, sopan santun, norma serta adat budaya bangsa. Pembatasan ini memang
merupakan hak setiap anggota legislatif.
Deskripsi di atas, menegaskan bahwa secara yuridis formil hak kekebalan
hukum, baik anggota Kongres maupun anggota DPR bersifat relatif tidak mutlak.
Perbedaannya, hak kekebalan hukum anggota Kongres dapat dikesampingkan, jika
pernyataan itu tidak jelas motifnya, bukan demi kepentingan publik. Hak
kekebalan anggota DPR dapat dikesampingkan jika melanggar Pasal 28 huruf c jo.
Pasal 29 huruf I dan j jo. Pasal 103 ayat (1) UU No 22 Tahun 2003. Lalu
bagaimana dengan ungkapan tersebut? Apakah dapat memunculkan masalah hukum,
jika dipandang melanggar ketentuan dimaksud. Kalau benar, apakah dapat
diklasifikasi sebagai tindak pidana atau hanya sebatas pelanggaran Peraturan
Tata Tertib/Kode Etik saja?
Dapat tidaknya ungkapan tersebut diklasifikasi sebagai tindak pidana
tergantung konotasi, locus penyampaian serta sensitivitas ragam asal subyeknya.
Keberatan Jaksa Agung beserta jajarannya karena ungkapan dipandang, pertama
berkonotasi negatif yang digeneralisir, mengingat jumlah jaksa 6000 orang,
pernyataan itu seolah-olah ditujukan ke semua jaksa, apalagi diutarakan
berkali-kali dan sebelumnya dalam rapat 7 Februari 2005 telah juga diutarakan,
kedua disampaikan di depan umum dalam forum rapat kerja, ada kesan ingin
mempermalukan para jaksa, karena rapat tersebut terbuka untuk umum dan ketiga
ragam asal subyek tidak sama, meskipun menyampaikan ungkapan tidak dilarang
atau sah-sah saja, tetapi harus diperhatikan konteksnya dan hal-hal yang
dipandang siri, pemali atau tabu untuk diungkapkan di depan umum, yang dapat
ditafsirkan berbeda, mengingat beragamnya adat dan budaya masing-m
asing daerah. Kalaulah itu tidak digeneralisasi walaupun locusnya sama, tidak
akan dipandang berkonotasi negatif pencemaran atau penghinaan, dan
sensitivitasnya tidak terusik.
Pasal 310 KUHP menegaskan "barang siapa dengan sengaja menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum" diklasifikasikan sebagai
pencemaran atau jika itu dimaksudkan untuk menghina, mengingat yang dihina itu
pegawai negeri, diklasifikasikan sebagai penghinaan ringan oleh Pasal 315 jo
Pasal 316 KUHP. Mengacu kepada aturan pidana di atas, ungkapan tersebut dapat
dipandang sebagai pencemaran atau penghinaan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan
penjelasan Pasal 103 ayat (1) tersebut.
Meskipun oleh KUHP ungkapan tersebut memenuhi rumusan delik, tidak
serta-merta terhadap pelakunya dapat dilakukan penyidikan. Alasan pertama,
Pasal 310 atau 315 jo 316 KUHP tersebut adalah delik aduan, jadi harus ada
pengaduan dari pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya atau dihina, kedua,
apakah di DPR, ada Badan Kehormatan yang menangani dugaan pelanggaran Kode
Etik. Selain itu apakah oleh DPR sudah disusun Kode Etik yang berisi norma yang
harus dipatuhi oleh setiap anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dan jika ada, apakah Kode Etik itu telah ditetapkan belum Rapat Paripurna (vide
pasal 11 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Tatib DPR).
Terlepas dari pengertian hak imunitas dan contempt of parliament di atas,
pelbagai media cetak dan elektronik dengan vulgar telah memvisualisasikan
peristiwa tersebut. Sebenarnya, baik Anhar maupun Jaksa Agung telah
menyampaikan permintaan maafnya. Bahkan, Teras Narang dan Jaksa Agung,
masing-masing sebagai wakil kedua pihak, telah bersalaman dan berpelukan.
Secara tersirat langkah yang dilakukan mereka berdua menyatakan masalah
tersebut telah selesai. Sebagai orang yang beragama, baik anggota Komisi II dan
III maupun Jaksa Agung dan jajarannya, wajib diberi maaf dan memaafkan.
Kalau kita mencermati secara jernih, sebenarnya Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh telah memperlihatkan jiwa besarnya dengan menjawab "see no evil, hear no
evil, and say no evil", saat ditanya oleh pers sesuai Rapat Kerja dengan Pansus
DPR tentang masalah Poso, artinya beliau menempatkan permasalahan tersebut
secara proporsional, tidak ingin berpolemik. DPR hendaknya merespons sikap
tersebut tidak perlu mengambil langkah-langkah yang berlebihan, agar tidak
saling merugikan dan akhir ceritanya happy ending***.
Wednesday, June 04, 2008
MENIMBANG “HAK IMUNITAS” DEWAN GUBERNUR DAN PEJABAT BI
Tulisan ini pernah dipublikasikan majalah InfoBank edisi No.309/Desember 2004/Vo.XXVI.
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat NIA F.02.12653
Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral, dengan undang-undang (UU) baru serta semangat dan sikap baru akan diarahkan pada tugas pokoknya. Yakni menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar Rupiah. BI akan menjaga independensi yang tidak bisa ditawar sehingga tidak satu pun pihak yang dapat mengintervensi kebijakan BI. Demikian pernyataan yang mencerminkan semangat reformasi telah disampaikan Gubernur BI Burhanudin Abdullah dalam suatu kesempatan.
Kini, laksana dilengkapi rompi anti peluru, Gubernur BI, Deputi Senior BI, Deputi Gubernur (Dewan Gubernur) dan pejabat BI memiliki “Hak Imunitas” (kebal dari tuntutan hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya) sebagaimana diatur pasal 45 UU No.23/1999 yang diubah dengan UU No.3/2004 tentang BI (UUBI).
Pasca diundangkannya UUBI No. 23/1999, BI nampak lebih berwibawa dan percaya diri dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Sebabnya, pertama, posisinya yang independen dan mendapat jaminan UUBI atas ketiadaan campur tangan pihak lain untuk mengobok-obok BI dengan ancaman pidana bagi yang menabraknya.
Kedua, perlindungan dari ancaman pidana (hak imunitas) atas keputusan atau kebijakan Dewan Gubernur dan/atau pejabat BI yang dilakukan dengan itikad baik.
Pengalaman UUBI Lama
Nampaknya, konstruksi hukum pasal 45 UUBI tersebut merupakan jawaban atas ketidaknyamanan Dewan Gubernur BI saat mengambil keputusan dalam posisi sulit. Syahril Sabirin, Gubernur BI dulu, pernah tersandung kasus cessie Bank Bali. Ia sempat menjadi terpidana, meski akhirnya pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung dinyatakan tidak bersalah.
Beberapa mantan Direktur BI, yakni Heru Supraptomo, Paul Soetopo, dan Hendrobudiyanto pernah divonis bersalah pada awal Mei 2003 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN) atas penyalahgunaan wewenang dengan menyetujui pemberian fasilitas saldo debet (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia -BLBI).
Ketiganya dinilai terbukti menyalahgunakan wewenang karena tidak melaksanakan stop kliring yang berakibat merugikan keuangan negara (pada 29 Desember 2003 dalam persidangan terspisah ketiganya dilepaskan dari tuntutan hukum oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Kasusnya sekarang masih dalam tingkat Kasasi)
Nampak kekecewaan BI sebagaimana tersirat dalam pernyataan persnya ketika itu (Mei 2003) bahwa Dewan Gubernur dan segenap pegawai BI menyatakan keprihatinannya, sebagai tanggapan atas putusan PN yang memvonis bersalah ketiga mantan Direktur BI tersebut.
Padahal Dewan Gubernur BI (ketika itu) menganggap BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multi dimensi (untuk lebih jelas bahwa dapatkah kebijakan dipidana, baca: Sulistiono Kertawacana: Administrasi Korupsi BLBI: InfoBank Edisi No.301/April 2004/Vol.XXVI : 58-59).
Perlu diketahui, vonis PN pada awal Mei 2003 tersebut ditetapkan berdasarkan UUBI yang lama (UU No.13/1968) yang belum memuat substansi ketentuan pasal 45 UUBI. Hal ini terjadi karena tempus delicti (waktu kejadian perkara) terjadi sebelum UUBI No.23/1999 berlaku dan diundangkan (17 Mei 1999).
Menimbang “Hak Imunitas”
Pasal 45 UUBI menyatakan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik.
“Hak imunitas” diberikan berkaitan dengan pelaksaanaan tugas dan wewenang mereka. BI mempunyai tiga tugas yang diemban Dewan Gubernur selaku pelaksananya yang ditetapkan dalam pasal 8 UUBI.
Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. BI berwenang menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi, melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara yang termasuk tapi tidak terbatas pada (i) operasi pasar terbuka; (ii) penetapan tingkat diskonto; (iii) penetapan cadangan wajib minimum; dan (iv) pengaturan kredit atau pembiayaan.
Beberapa pelaksanaan dari kewenangan tersebut, BI diberi wewenang mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Kedua, mengatur dan menjaga sistem pembayaran. BI berwenang melaksanakan dan memberikan persetujuan izin penyelenggaraan jasa sistem perbankan, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran menyampaikan laporan kegiatannya, menetapkan penggunaan alat pembayaran. Pelaksanaan atas kewenangan dimaksud ditetapkan dengan PBI.
Ketiga, mengatur dan mengawasi bank. BI menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin usaha bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan (LPSJK) yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Karenanya -untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya- BI akan menerbitkan keputusan atau kebijakan. Bentuk produk hukumnya terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking). Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan BI, tatacara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut tidak sama.
Regelling adalah keputusan BI yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal.. Contohnya, BI menerbitkan PBI atau BI menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Apabila masyarakat (tidak hanya terbatas pada kalangan perbankan) menilai tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka dapat melakukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945.
Putusan MA berupa memperkuat peraturan BI atau membatalkannya. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai oleh MA tidak tepat.
Beschikking adalah keputusan BI yang bersifat konkret, individual dan final. Contohnya memberikan sanksi terhadap bank, atau memberikan izin atau mencabut izin usaha suatu bank. Beschikking adalah Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN).
Upaya hukumnya bagi yang dirugikan dengan mengajukan gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN. Keputusan hakim dapat berupa mengabulkan gugatan (membatalkan penetapan BI yang telah) atau menolak gugatan (penetapan BI tetap berlaku).
Tidak Berimplikasi Secara Hukum Pidana
Pelaku tindak pidana dapat terhindar dari (ancaman) pidana jika terdapat alasan yang mengecualikannya (strafuitsluitingsgronden). Yakni alasan pemaaf, alasan pembenar, atau dekriminalisasi.
Alasan pemaaf, jika tindakannya masih termasuk kategori tindak pidana, tapi karena melakukannya dalam kondisi tertentu (schulduitsluitingsgronden), maka dimaafkan dan dilepaskan dari ancaman hukuman pidana (pasal 48 s/d 49 KUHP). Contonya membunuh perampok dalam rangka pembelaan diri.
Alasan pembenar, jika dilakukan atas perintah UU (rechtvaardingsgronden), tindakannya sendiri masih dianggap tindak pidana oleh UU (lihat pasal 50 KUHP). Contohnya, Polisi yang mengeksekusi terpidana mati.
Dekriminalisasi adalah suatu tindakan semula termasuk kriteria tindak pidana diubah oleh UU menjadi tindakan yang tidak diancam pidana. Misalkan pada saat dilakukan tindakan tersebut masih dalam kategori tindakan pidana, namun kemudian diubah menjadi bukan termasuk tindak pidana.
Pasal 1 ayat 2 KUHP, jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Penjelasan pasal 45 UUBI menyatakan pengambilan keputusan dianggap telah memenuhi beritikad baik apabila dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan/atau tindakan lain yang berindikasikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Jelas ini bukan alasan pembenar atau pun alasan pemaaf. Apalagi dekriminalisasi tindak pidana dalam KUHP atau UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Kriteria itikad baik tidak cukup mengesampingkan perumusan pasal UU PTPK yang dirumuskan secara materiil. Sekedar contoh berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU PTPK dinyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara ….
“Perbuatan melawan hukum” dalam pasal tersebut adalah dalam arti formil maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peratuaran perundang-undangan , namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat , maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan demikian, seseorang dianggap telah melakukan korupsi karena telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Mekipun tentu saja pasti pelaku akan berkilah bukan bertujuan (secara sengaja) merugikan keuangan negara. Tapi, cukup mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi (lihat penjelasan pasal 2 , pasal 3 dan pasal 14 UU PTPK).
“Perlindungan hukum” dengan itikad baik dalam penjelasan 45 UUBI hanya berguna bagi jenis tindak pidana yang dirumuskan secara formil (unsur pidana terbit, jika tindak pidana tersebut sebagai tujuan/dengan niat/maksud atau yang dilakukan secara sengaja).
Namun, menjadi tidak berarti bagi tindak pidana yang dirumuskan secara materil (unsur pidana terbit, jika mengakibatkan sesuatu) sebagaimana perumusan dalam UU PTPK tersebut.
Selain itu juga secara pengkategorian ilmu hukum, BI dalam menjalankan tugas dan wewenangya termasuk dalam lingkup hukum tata usaha negara dan administrasi negara.
Forum pengadilan untuk mengkoreksi atas pengaturan adalah judicial review. Sedangkan koreksi atas Penetapan adalah PTUN bagi pihak yang merasa dirugikan atas penetapan atau keputusan BI. Bisa juga pejabat yang menerbitkannya sendiri yang merubah atau merevisinya secara sukarela.
Koreksi atas kesalahan produk keputusan atau kebijakan BI tidak ada peluang untuk dihukum secara pidana. Kecuali dibarengi tindakan lain yang masuk dalam lingkup pidana korupsi.
Yakni, mengandung salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain. Karenanya, kebijakan Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI yang terdapat unsur pidana (korupsi), tidak dapat dikesampingkan oleh pasal 45 UUBI.
Dengan demikian, pasal 45 UUBI yang memuat “hak imunitas” bagi Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang telah dilakukan dengan itikad baik, dari kacamata ilmu hukum, tidak berdampak secara hukum.
Sebab, bukan dekrimilasisasi, alasan pembenar, atau pun alasan pemaaf. Klausul pasal 45 UUBI hanya memberikan dampak psikologis bagi penerima ‘hak imunitas’. Apakah itu memang tujuannya? Di tangan hakimlah UU berbicara
Memaknai Pengajuan Hak Interpelasi
Oleh Moh. Samsul Arifin
KISRUH internal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang ini berpeluang memantik sengketa antarlembaga tinggi negara: legislatif (DPR) versus eksekutif (lembaga kepresidenan), setelah tak kurang 49 anggota DPR mengajukan hak interpelasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal penggantian Panglima TNI, awal November lalu.
Ketika mengajukan surat kepada pimpinan DPR, penggagasnya, yakni Yuddy Chrisnandi (FPG), tak hanya didampingi fraksi-fraksi dari Koalisi Kebangsaan, tapi juga F-PAN (salah satu eksponen Koalisi Kerakyatan).
Dalam surat itu, anggota DPR mengajukan beberapa pertanyaan soal kesinambungan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap pemerintahan sebelumnya. Dipertanyakan juga apa relevansi penarikan surat Presiden Megawati Soekarnoputri dengan kesinambungan pimpinan TNI dan konsolidasi pemerintahan pascapemilu.
Tak lupa ditanyakan apakah Presiden Yudhoyono bermaksud menjadikan TNI sebagai alat kekuasaan pemerintahan yang dipimpinnya sehingga perlu menata penggantian kepemimpinan TNI secara menyeluruh.
Interpelasi
Interpelasi merupakan hak konstitusional DPR sebagai lembaga tinggi negara (legislatif). Ini diatur pada Pasal 27 huruf a UU No 22 Tahun 2003. Dalam penjelasan pasal tersebut, hak interpelasi diartikan sebagai hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hak konstitusional DPR (sebagai lembaga, dan bukan orang per orang) lainnya adalah hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Karena itu, interpelasi terkait penggantian Panglima TNI ini akan diputuskan oleh Rapat Paripurna DPR sesuai Tata Tertib DPR. Apabila Rapat Paripurna setuju, jadwal pembahasannya akan diproses Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Di Bamus ini nantinya akan terjadi arena dua pihak (penggagas dan pro interpelasi serta anggota parlemen pro-Presiden Yudhoyono) saling mempengaruhi. Pihak pro-interpelasi bakal terus bergerilya mencari dukungan dari anggota parlemen (lintas fraksi) dan mendesak Bamus agar segera menetapkan jadwal pembahasan interpelasi di Rapat Paripurna.
Sementara itu, pihak kontra akan menahan manuver lawannya dengan mengonsolidasi internal fraksinya agar tidak ikut-ikutan mendukung interpelasi. Paling kurang, mereka akan menciptakan kondisi agar Bamus berlama-lama alias mengulur-ulur waktu penetapan jadwal pembahasan interpelasi di Rapat Paripurna.
Strategi mengulur waktu ini sudah jamak dilakukan anggota parlemen di mana pun. Misalnya lobi-lobi digiatkan, memperpanjang dialog, menggiatkan interupsi atau berpanjang-panjang dalam menyatakan pandangan umum.
Dalam Rapat Paripurna DPR (9/11) yang dihadiri dua kekuatan (Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan), pihak kontra bahkan sempat menggebrak meja, maju ke podium dan meja pimpinan sidang untuk menolak pembacaan surat tentang interpelasi.
Upaya salah seorang anggota DPR asal Fraksi Partai Persatuan Pembangunan relatif berhasil, dan pembacaan surat interpelasi baru akan dilaksanakan dalam Rapat Parpurna DPR, 27 November mendatang.
Sementara itu, kalangan menilai diajukannya hak interpelasi tidak terpisah dari kisruh soal pimpinan komisi. Pandangan apriori bahkan menyebut dua hal ini merupakan lanjutan belaka dari perseteruan hebat dua kubu memperebutkan kekuasaan. ”Koalisi Kebangsaan + Koalisi Kerakyatan = Kekuasaan” begitu kalimat yang terpampang di karikatur beberapa media massa.
Pandangan kedua menilai pengajuan hak interpelasi tidak terkait dengan kisruh soal pimpinan komisi. Pengajuan hak interpelasi adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan dianggapkan sebagai bentuk keseriusan wakil rakyat mengontrol eksekutif, menyangkut penggantian Panglima TNI yang ditunda atau lebih tepatnya ”digantung” oleh Presiden Yudhoyono.
Buktinya, F-PAN yang kini ”memimpin” Koalisi Kerakyatan mendukung langkah mengajukan interpelasi kepada Presiden.
Yang terakhir menangkap kesan, para penggagas hak interpelasi hanya mencari ”sensasi” belaka. Ketika mendapati citra DPR kembali melemah setelah kisruh soal pimpinan komisi, sebagian anggota parlemen hendak menunjukkan diri bahwa mereka masih on the track seperti yang digembar-gemborkan di kala kampanye. Pada proses politik yang berlangsung di parlemen sekarang ini mesin citra digencarkan layaknya lobi-lobi politik.
Setiap periode, di lembaga parlemen selalu ada yang mewakili sebagai ikon. Di masa Soeharto ada Sri Bintang Pamungkas dan Bambang Warih sebagai ikon karena kekritisan mereka berdua.
Di masa Abdurrahman Wahid ada ”gank koboi” yang berkampanye untuk melengserkan presiden kiai tersebut. Di masa Megawati Soekarnoputri, ikon parlemen nyaris tenggelam. Waktu itu, FKB sebetulnya memiliki persoalan dengan PDIP dan Megawati, tapi dinamika di parlemen tak sampai mengharuskan mereka jadi ”pengganggu” kekuasaan Megawati.
Sebagai hak konstitusional DPR, interpelasi sebetulnya sesuatu yang lumrah. Akan tetapi, pengajuan hak itu dikhawatirkan menjadi titik masuk bagi sengketa legislatif versus eksekutif.
Misalkan, pengajuan hak interpelasi dikabulkan Rapat Paripurna, maka Presiden Yudhoyono wajib datang untuk menjelaskan soal surat penarikan diri surat presiden terdahulu yang berisi tentang pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto dan pengangkatan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI.
Bisa saja Presiden Yudhoyono tidak mau hadir ke Gedung DPR, karena kemelut internal di DPR belum dapat diselesaikan. Ini pasti memercikkan konflik dua lembaga itu.
Sejauh ini Ryamizard—juga Kapolri Da’i Bachtiar—dilarang hadir dalam rapat dengan Komisi I DPR jika kedatangannya untuk menjalankan fit and proper test. Sementara itu, menteri-menteri lain sudah diperbolehkan Presiden Yudhoyono untuk menghadiri rapat kerja dengan komisi-komisi DPR.
Jika Presiden Yudhoyono hadir atau mewakilkan kepada salah satu menterinya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dewan dalam surat interpelasi, dua hal bisa terjadi: Pertama, DPR menerima jawaban Pemerintah dan setuju dengan segala rencana pemerintah terkait penggantian Panglima TNI. Jika skenario optimistis ini terwujud, kemelut soal Panglima TNI teratasi dan hubungan legislatif-eksekutif akan baik-baik saja (normal).
Kedua, DPR menolak penjelasan Pemerintah karena perbedaan tafsir soal UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kalau ini yang terjadi jelas politik nasional akan panas.
Sejauh ini ada beda tafsir antara Komisi I dengan Pemerintah. Komisi I DPR menilai apabila setelah 20 hari, DPR tidak menolak atau menjawab surat dari Presiden (Megawati), Jenderal Ryamizard Ryacudu otomatis menjadi Panglima TNI sesuai dengan Pasal 13 Ayat 9 UU TNI.
Menurut Komisi I setelah 5 November 2004, mestinya Ryamizard ditetapkan sebagai Panglima TNI yang baru. Sementara itu, Pemerintah memandang surat Megawati sudah dicabut sehingga hal-ihwal mengenai pengangkatan Panglima TNI yang baru terserah Presiden SBY.
Pemerintah menganggap ini soal administrasi belaka. Bayangkan apa yang terjadi jika dua pihak bersitegang: DPR menilai Presiden SBY telah melanggar UU TNI, sedangkan Pemerintah enteng-enteng saja tidak merasa telah menabrak undang-undang!
Ujian
Menyaksikan kisruh internal di DPR saat ini, penulis pesimistis pengajuan hak interpelasi nanti berlangsung normal-normal saja. Pihak-pihak yang pro-interpelasi memiliki beban turunan dari persaingan politik sejak Pemilu Presiden hingga Pemilihan Pimpinan MPR RI.
Elemen pokok Koalisi Kebangsaan dari kalangan PDIP sempat bilang tak akan berlama-lama untuk menyudahi pemerintahan SBY. Walaupun diucapkan orang per orang, hal ini sedikit banyak akan memengaruhi hubungan legislatif-eksekutif.
Belajar dari Gus Dur, ia dilengserkan juga karena manuver getol orang per orang sebelum membesar menjadi bola panas.
Dalam kondisi demikian, hemat saya, hubungan legislatif-eksekutif mendatang akan sangat ditentukan cara bagaimana legislatif menyelesaikan kemelut internalnya. Apabila dua blok politik segera menemukan solusi pimpinan komisi, proses interpelasi akan normal. Sebaliknya, jika di antara dua koalisi terus bertahan dengan sikapnya, interpelasi akan mengalami politisasi hebat. Taruhannya politik nasional akan overheating.
Andaikata, kisruh soal penggantian Panglima TNI dilokalisasi menjadi beda tafsir tentang UU TNI antara DPR dan Pemerintah, penyelesaiannya ada di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pun kalau dua pihak bermaksud menguji UU TNI terhadap UUD 1945.
Sejauh ini bolanya masih liar, tak ada fokus ke mana pihak-pihak pro interpelasi akan melangkah. Interpelasi adalah ujian sulit bagi Presiden Yudhoyono, apakah ia akan terprovokasi atau terus melaju dengan keyakinannya soal penggantian Panglima TNI. Mungkin saja, SBY akan meniru langkah Gus Dur, sebab kekuasaannya yang memiliki legitimasi tinggi (dipilih rakyat) tidak mudah digoyah.
Terakhir, agaknya publik jangan sekadar memberi waktu seratus hari kepada Pemerintahan Yudhoyono untuk menunjukkan kinerjanya. Para wakil rakyat yang terhormat itu juga harus dievaluasi dalam seratus hari agar tidak hanya asyik-masyuk memikirkan kursi (kuasa), tapi menerbitkan legislasi (perundang-undangan).
SELAMA kurun waktu Januari 2004-Januari 2005, ada 8 anggota dan 2 mantan
anggota legislatif pusat, 22 orang anggota legislatif provinsi, 2 orang
gubernur, 13 bupati dan 5 wali kota diduga melakukan tindak pidana korupsi,
telah dinyatakan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dan kejaksaan di
berbagai daerah. Angka-angka itu belum termasuk anggota legislatif kabupaten
dan kota.
Merebaknya anggota legislatif dan eksekutif menjadi tersangka, inilah
yang dipertanyakan oleh Komisi II dan III DPR kepada Jaksa Agung dalam rapat
kerja, Selasa (17/2). Rupanya rapat itu tidak saja berjalan alot, tetapi memicu
kesalahpahaman terhadap penafsiran ungkapan "seperti ustaz di kampung maling".
Agustin Teras Narang yang memimpin rapat pada saat itu, terpaksa buru-buru
mengetok palu menyatakan rapat ditutup. Pro-kontra penafsiran atas ungkapan
yang dilontarkan Anhar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Bintang Reformasi,
membuat gerah para jaksa yang hadir mendampingi Jaksa Agung saat itu. Muaranya
pimpinan DPR meminta presiden menegur jaksa agung. Ungkapan "seperti ustaz di
kampung maling" yang ditujukan kepada jaksa agung ini, perlu dicermati lebih
jauh makna dan hakikatnya dan apa implikasinya dengan hak imunitas legislatif.
Dari terminologi hukum kata imunitas dalam bahasa Inggris immunity
berarti kekebalan, kata lainnya imunis yang menyatakan "tidak dapat diganggu
gugat". Terkait dengan tindakan seseorang dalam lingkup tertentu seperti korps
diplomatik atau anggota legislatif. Black's Law Dictionary mencantumkan istilah
legislative immunity yang pada intinya bermakna hak kekebalan yang diberikan
Konstitusi Amerika Serikat kepada anggota Kongres, pertama, tidak boleh
ditangkap pada saat sidang, kecuali terhadap tidak pidana makar, kejahatan
berat seperti pembunuhan dan terhadap pelanggaran perjanjian perdamaian. Kedua,
untuk setiap pidato atau debat yang dilakukan di parlemen, mereka itu mempunyai
hak kekebalan, baik itu opini, pidato, debat atau penyampaian pendapat, juga
dalam pengambilan suara, laporan tertulis, dan penyampaian petisi secara umum
yang dirasa penting oleh anggota dilakukan dalam rangka tugas legislatif. Bahkan terhadap adanya tuduhan dengan motif yang tidak
jelas melakukan hal-hal di atas, tidak menghapuskan imunitas mereka, sepanjang
dilakukan untuk kepentingan publik.
Pasal 28 huruf f UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD, menggariskan anggota DPR mempunyai hak imunitas atau hak
kekebalan hukum dan selanjutnya oleh penjelasannya ditafsirkan bahwa hak
imunitas itu adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena
pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan
pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Rumusan Pasal 28 huruf f tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan Pasal 103 ayat 1 yang menyatakan hak kekebalan tersebut
dibatasi yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan
Kode Etik Lembaga.
Kemudian oleh penjelasannya dikatakan mengingat anggota legislatif
memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah, sehingga dalam hal
mengajukan pertanyaan dan pernyataan harus dilakukan dengan tata cara
mengindahkan etika politik dan pemerintahan dan senantiasa menggunakan tata
krama, sopan santun, norma serta adat budaya bangsa. Pembatasan ini memang
merupakan hak setiap anggota legislatif.
Deskripsi di atas, menegaskan bahwa secara yuridis formil hak kekebalan
hukum, baik anggota Kongres maupun anggota DPR bersifat relatif tidak mutlak.
Perbedaannya, hak kekebalan hukum anggota Kongres dapat dikesampingkan, jika
pernyataan itu tidak jelas motifnya, bukan demi kepentingan publik. Hak
kekebalan anggota DPR dapat dikesampingkan jika melanggar Pasal 28 huruf c jo.
Pasal 29 huruf I dan j jo. Pasal 103 ayat (1) UU No 22 Tahun 2003. Lalu
bagaimana dengan ungkapan tersebut? Apakah dapat memunculkan masalah hukum,
jika dipandang melanggar ketentuan dimaksud. Kalau benar, apakah dapat
diklasifikasi sebagai tindak pidana atau hanya sebatas pelanggaran Peraturan
Tata Tertib/Kode Etik saja?
Dapat tidaknya ungkapan tersebut diklasifikasi sebagai tindak pidana
tergantung konotasi, locus penyampaian serta sensitivitas ragam asal subyeknya.
Keberatan Jaksa Agung beserta jajarannya karena ungkapan dipandang, pertama
berkonotasi negatif yang digeneralisir, mengingat jumlah jaksa 6000 orang,
pernyataan itu seolah-olah ditujukan ke semua jaksa, apalagi diutarakan
berkali-kali dan sebelumnya dalam rapat 7 Februari 2005 telah juga diutarakan,
kedua disampaikan di depan umum dalam forum rapat kerja, ada kesan ingin
mempermalukan para jaksa, karena rapat tersebut terbuka untuk umum dan ketiga
ragam asal subyek tidak sama, meskipun menyampaikan ungkapan tidak dilarang
atau sah-sah saja, tetapi harus diperhatikan konteksnya dan hal-hal yang
dipandang siri, pemali atau tabu untuk diungkapkan di depan umum, yang dapat
ditafsirkan berbeda, mengingat beragamnya adat dan budaya masing-m
asing daerah. Kalaulah itu tidak digeneralisasi walaupun locusnya sama, tidak
akan dipandang berkonotasi negatif pencemaran atau penghinaan, dan
sensitivitasnya tidak terusik.
Pasal 310 KUHP menegaskan "barang siapa dengan sengaja menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum" diklasifikasikan sebagai
pencemaran atau jika itu dimaksudkan untuk menghina, mengingat yang dihina itu
pegawai negeri, diklasifikasikan sebagai penghinaan ringan oleh Pasal 315 jo
Pasal 316 KUHP. Mengacu kepada aturan pidana di atas, ungkapan tersebut dapat
dipandang sebagai pencemaran atau penghinaan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan
penjelasan Pasal 103 ayat (1) tersebut.
Meskipun oleh KUHP ungkapan tersebut memenuhi rumusan delik, tidak
serta-merta terhadap pelakunya dapat dilakukan penyidikan. Alasan pertama,
Pasal 310 atau 315 jo 316 KUHP tersebut adalah delik aduan, jadi harus ada
pengaduan dari pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya atau dihina, kedua,
apakah di DPR, ada Badan Kehormatan yang menangani dugaan pelanggaran Kode
Etik. Selain itu apakah oleh DPR sudah disusun Kode Etik yang berisi norma yang
harus dipatuhi oleh setiap anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dan jika ada, apakah Kode Etik itu telah ditetapkan belum Rapat Paripurna (vide
pasal 11 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Tatib DPR).
Terlepas dari pengertian hak imunitas dan contempt of parliament di atas,
pelbagai media cetak dan elektronik dengan vulgar telah memvisualisasikan
peristiwa tersebut. Sebenarnya, baik Anhar maupun Jaksa Agung telah
menyampaikan permintaan maafnya. Bahkan, Teras Narang dan Jaksa Agung,
masing-masing sebagai wakil kedua pihak, telah bersalaman dan berpelukan.
Secara tersirat langkah yang dilakukan mereka berdua menyatakan masalah
tersebut telah selesai. Sebagai orang yang beragama, baik anggota Komisi II dan
III maupun Jaksa Agung dan jajarannya, wajib diberi maaf dan memaafkan.
Kalau kita mencermati secara jernih, sebenarnya Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh telah memperlihatkan jiwa besarnya dengan menjawab "see no evil, hear no
evil, and say no evil", saat ditanya oleh pers sesuai Rapat Kerja dengan Pansus
DPR tentang masalah Poso, artinya beliau menempatkan permasalahan tersebut
secara proporsional, tidak ingin berpolemik. DPR hendaknya merespons sikap
tersebut tidak perlu mengambil langkah-langkah yang berlebihan, agar tidak
saling merugikan dan akhir ceritanya happy ending***.
Wednesday, June 04, 2008
MENIMBANG “HAK IMUNITAS” DEWAN GUBERNUR DAN PEJABAT BI
Tulisan ini pernah dipublikasikan majalah InfoBank edisi No.309/Desember 2004/Vo.XXVI.
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat NIA F.02.12653
Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral, dengan undang-undang (UU) baru serta semangat dan sikap baru akan diarahkan pada tugas pokoknya. Yakni menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar Rupiah. BI akan menjaga independensi yang tidak bisa ditawar sehingga tidak satu pun pihak yang dapat mengintervensi kebijakan BI. Demikian pernyataan yang mencerminkan semangat reformasi telah disampaikan Gubernur BI Burhanudin Abdullah dalam suatu kesempatan.
Kini, laksana dilengkapi rompi anti peluru, Gubernur BI, Deputi Senior BI, Deputi Gubernur (Dewan Gubernur) dan pejabat BI memiliki “Hak Imunitas” (kebal dari tuntutan hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya) sebagaimana diatur pasal 45 UU No.23/1999 yang diubah dengan UU No.3/2004 tentang BI (UUBI).
Pasca diundangkannya UUBI No. 23/1999, BI nampak lebih berwibawa dan percaya diri dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Sebabnya, pertama, posisinya yang independen dan mendapat jaminan UUBI atas ketiadaan campur tangan pihak lain untuk mengobok-obok BI dengan ancaman pidana bagi yang menabraknya.
Kedua, perlindungan dari ancaman pidana (hak imunitas) atas keputusan atau kebijakan Dewan Gubernur dan/atau pejabat BI yang dilakukan dengan itikad baik.
Pengalaman UUBI Lama
Nampaknya, konstruksi hukum pasal 45 UUBI tersebut merupakan jawaban atas ketidaknyamanan Dewan Gubernur BI saat mengambil keputusan dalam posisi sulit. Syahril Sabirin, Gubernur BI dulu, pernah tersandung kasus cessie Bank Bali. Ia sempat menjadi terpidana, meski akhirnya pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung dinyatakan tidak bersalah.
Beberapa mantan Direktur BI, yakni Heru Supraptomo, Paul Soetopo, dan Hendrobudiyanto pernah divonis bersalah pada awal Mei 2003 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN) atas penyalahgunaan wewenang dengan menyetujui pemberian fasilitas saldo debet (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia -BLBI).
Ketiganya dinilai terbukti menyalahgunakan wewenang karena tidak melaksanakan stop kliring yang berakibat merugikan keuangan negara (pada 29 Desember 2003 dalam persidangan terspisah ketiganya dilepaskan dari tuntutan hukum oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Kasusnya sekarang masih dalam tingkat Kasasi)
Nampak kekecewaan BI sebagaimana tersirat dalam pernyataan persnya ketika itu (Mei 2003) bahwa Dewan Gubernur dan segenap pegawai BI menyatakan keprihatinannya, sebagai tanggapan atas putusan PN yang memvonis bersalah ketiga mantan Direktur BI tersebut.
Padahal Dewan Gubernur BI (ketika itu) menganggap BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multi dimensi (untuk lebih jelas bahwa dapatkah kebijakan dipidana, baca: Sulistiono Kertawacana: Administrasi Korupsi BLBI: InfoBank Edisi No.301/April 2004/Vol.XXVI : 58-59).
Perlu diketahui, vonis PN pada awal Mei 2003 tersebut ditetapkan berdasarkan UUBI yang lama (UU No.13/1968) yang belum memuat substansi ketentuan pasal 45 UUBI. Hal ini terjadi karena tempus delicti (waktu kejadian perkara) terjadi sebelum UUBI No.23/1999 berlaku dan diundangkan (17 Mei 1999).
Menimbang “Hak Imunitas”
Pasal 45 UUBI menyatakan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik.
“Hak imunitas” diberikan berkaitan dengan pelaksaanaan tugas dan wewenang mereka. BI mempunyai tiga tugas yang diemban Dewan Gubernur selaku pelaksananya yang ditetapkan dalam pasal 8 UUBI.
Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. BI berwenang menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi, melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara yang termasuk tapi tidak terbatas pada (i) operasi pasar terbuka; (ii) penetapan tingkat diskonto; (iii) penetapan cadangan wajib minimum; dan (iv) pengaturan kredit atau pembiayaan.
Beberapa pelaksanaan dari kewenangan tersebut, BI diberi wewenang mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Kedua, mengatur dan menjaga sistem pembayaran. BI berwenang melaksanakan dan memberikan persetujuan izin penyelenggaraan jasa sistem perbankan, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran menyampaikan laporan kegiatannya, menetapkan penggunaan alat pembayaran. Pelaksanaan atas kewenangan dimaksud ditetapkan dengan PBI.
Ketiga, mengatur dan mengawasi bank. BI menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin usaha bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan (LPSJK) yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Karenanya -untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya- BI akan menerbitkan keputusan atau kebijakan. Bentuk produk hukumnya terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking). Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan BI, tatacara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut tidak sama.
Regelling adalah keputusan BI yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal.. Contohnya, BI menerbitkan PBI atau BI menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Apabila masyarakat (tidak hanya terbatas pada kalangan perbankan) menilai tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka dapat melakukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945.
Putusan MA berupa memperkuat peraturan BI atau membatalkannya. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai oleh MA tidak tepat.
Beschikking adalah keputusan BI yang bersifat konkret, individual dan final. Contohnya memberikan sanksi terhadap bank, atau memberikan izin atau mencabut izin usaha suatu bank. Beschikking adalah Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN).
Upaya hukumnya bagi yang dirugikan dengan mengajukan gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN. Keputusan hakim dapat berupa mengabulkan gugatan (membatalkan penetapan BI yang telah) atau menolak gugatan (penetapan BI tetap berlaku).
Tidak Berimplikasi Secara Hukum Pidana
Pelaku tindak pidana dapat terhindar dari (ancaman) pidana jika terdapat alasan yang mengecualikannya (strafuitsluitingsgronden). Yakni alasan pemaaf, alasan pembenar, atau dekriminalisasi.
Alasan pemaaf, jika tindakannya masih termasuk kategori tindak pidana, tapi karena melakukannya dalam kondisi tertentu (schulduitsluitingsgronden), maka dimaafkan dan dilepaskan dari ancaman hukuman pidana (pasal 48 s/d 49 KUHP). Contonya membunuh perampok dalam rangka pembelaan diri.
Alasan pembenar, jika dilakukan atas perintah UU (rechtvaardingsgronden), tindakannya sendiri masih dianggap tindak pidana oleh UU (lihat pasal 50 KUHP). Contohnya, Polisi yang mengeksekusi terpidana mati.
Dekriminalisasi adalah suatu tindakan semula termasuk kriteria tindak pidana diubah oleh UU menjadi tindakan yang tidak diancam pidana. Misalkan pada saat dilakukan tindakan tersebut masih dalam kategori tindakan pidana, namun kemudian diubah menjadi bukan termasuk tindak pidana.
Pasal 1 ayat 2 KUHP, jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Penjelasan pasal 45 UUBI menyatakan pengambilan keputusan dianggap telah memenuhi beritikad baik apabila dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan/atau tindakan lain yang berindikasikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Jelas ini bukan alasan pembenar atau pun alasan pemaaf. Apalagi dekriminalisasi tindak pidana dalam KUHP atau UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Kriteria itikad baik tidak cukup mengesampingkan perumusan pasal UU PTPK yang dirumuskan secara materiil. Sekedar contoh berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU PTPK dinyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara ….
“Perbuatan melawan hukum” dalam pasal tersebut adalah dalam arti formil maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peratuaran perundang-undangan , namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat , maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan demikian, seseorang dianggap telah melakukan korupsi karena telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Mekipun tentu saja pasti pelaku akan berkilah bukan bertujuan (secara sengaja) merugikan keuangan negara. Tapi, cukup mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi (lihat penjelasan pasal 2 , pasal 3 dan pasal 14 UU PTPK).
“Perlindungan hukum” dengan itikad baik dalam penjelasan 45 UUBI hanya berguna bagi jenis tindak pidana yang dirumuskan secara formil (unsur pidana terbit, jika tindak pidana tersebut sebagai tujuan/dengan niat/maksud atau yang dilakukan secara sengaja).
Namun, menjadi tidak berarti bagi tindak pidana yang dirumuskan secara materil (unsur pidana terbit, jika mengakibatkan sesuatu) sebagaimana perumusan dalam UU PTPK tersebut.
Selain itu juga secara pengkategorian ilmu hukum, BI dalam menjalankan tugas dan wewenangya termasuk dalam lingkup hukum tata usaha negara dan administrasi negara.
Forum pengadilan untuk mengkoreksi atas pengaturan adalah judicial review. Sedangkan koreksi atas Penetapan adalah PTUN bagi pihak yang merasa dirugikan atas penetapan atau keputusan BI. Bisa juga pejabat yang menerbitkannya sendiri yang merubah atau merevisinya secara sukarela.
Koreksi atas kesalahan produk keputusan atau kebijakan BI tidak ada peluang untuk dihukum secara pidana. Kecuali dibarengi tindakan lain yang masuk dalam lingkup pidana korupsi.
Yakni, mengandung salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain. Karenanya, kebijakan Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI yang terdapat unsur pidana (korupsi), tidak dapat dikesampingkan oleh pasal 45 UUBI.
Dengan demikian, pasal 45 UUBI yang memuat “hak imunitas” bagi Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang telah dilakukan dengan itikad baik, dari kacamata ilmu hukum, tidak berdampak secara hukum.
Sebab, bukan dekrimilasisasi, alasan pembenar, atau pun alasan pemaaf. Klausul pasal 45 UUBI hanya memberikan dampak psikologis bagi penerima ‘hak imunitas’. Apakah itu memang tujuannya? Di tangan hakimlah UU berbicara
Memaknai Pengajuan Hak Interpelasi
Oleh Moh. Samsul Arifin
KISRUH internal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang ini berpeluang memantik sengketa antarlembaga tinggi negara: legislatif (DPR) versus eksekutif (lembaga kepresidenan), setelah tak kurang 49 anggota DPR mengajukan hak interpelasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal penggantian Panglima TNI, awal November lalu.
Ketika mengajukan surat kepada pimpinan DPR, penggagasnya, yakni Yuddy Chrisnandi (FPG), tak hanya didampingi fraksi-fraksi dari Koalisi Kebangsaan, tapi juga F-PAN (salah satu eksponen Koalisi Kerakyatan).
Dalam surat itu, anggota DPR mengajukan beberapa pertanyaan soal kesinambungan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap pemerintahan sebelumnya. Dipertanyakan juga apa relevansi penarikan surat Presiden Megawati Soekarnoputri dengan kesinambungan pimpinan TNI dan konsolidasi pemerintahan pascapemilu.
Tak lupa ditanyakan apakah Presiden Yudhoyono bermaksud menjadikan TNI sebagai alat kekuasaan pemerintahan yang dipimpinnya sehingga perlu menata penggantian kepemimpinan TNI secara menyeluruh.
Interpelasi
Interpelasi merupakan hak konstitusional DPR sebagai lembaga tinggi negara (legislatif). Ini diatur pada Pasal 27 huruf a UU No 22 Tahun 2003. Dalam penjelasan pasal tersebut, hak interpelasi diartikan sebagai hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hak konstitusional DPR (sebagai lembaga, dan bukan orang per orang) lainnya adalah hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Karena itu, interpelasi terkait penggantian Panglima TNI ini akan diputuskan oleh Rapat Paripurna DPR sesuai Tata Tertib DPR. Apabila Rapat Paripurna setuju, jadwal pembahasannya akan diproses Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Di Bamus ini nantinya akan terjadi arena dua pihak (penggagas dan pro interpelasi serta anggota parlemen pro-Presiden Yudhoyono) saling mempengaruhi. Pihak pro-interpelasi bakal terus bergerilya mencari dukungan dari anggota parlemen (lintas fraksi) dan mendesak Bamus agar segera menetapkan jadwal pembahasan interpelasi di Rapat Paripurna.
Sementara itu, pihak kontra akan menahan manuver lawannya dengan mengonsolidasi internal fraksinya agar tidak ikut-ikutan mendukung interpelasi. Paling kurang, mereka akan menciptakan kondisi agar Bamus berlama-lama alias mengulur-ulur waktu penetapan jadwal pembahasan interpelasi di Rapat Paripurna.
Strategi mengulur waktu ini sudah jamak dilakukan anggota parlemen di mana pun. Misalnya lobi-lobi digiatkan, memperpanjang dialog, menggiatkan interupsi atau berpanjang-panjang dalam menyatakan pandangan umum.
Dalam Rapat Paripurna DPR (9/11) yang dihadiri dua kekuatan (Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan), pihak kontra bahkan sempat menggebrak meja, maju ke podium dan meja pimpinan sidang untuk menolak pembacaan surat tentang interpelasi.
Upaya salah seorang anggota DPR asal Fraksi Partai Persatuan Pembangunan relatif berhasil, dan pembacaan surat interpelasi baru akan dilaksanakan dalam Rapat Parpurna DPR, 27 November mendatang.
Sementara itu, kalangan menilai diajukannya hak interpelasi tidak terpisah dari kisruh soal pimpinan komisi. Pandangan apriori bahkan menyebut dua hal ini merupakan lanjutan belaka dari perseteruan hebat dua kubu memperebutkan kekuasaan. ”Koalisi Kebangsaan + Koalisi Kerakyatan = Kekuasaan” begitu kalimat yang terpampang di karikatur beberapa media massa.
Pandangan kedua menilai pengajuan hak interpelasi tidak terkait dengan kisruh soal pimpinan komisi. Pengajuan hak interpelasi adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan dianggapkan sebagai bentuk keseriusan wakil rakyat mengontrol eksekutif, menyangkut penggantian Panglima TNI yang ditunda atau lebih tepatnya ”digantung” oleh Presiden Yudhoyono.
Buktinya, F-PAN yang kini ”memimpin” Koalisi Kerakyatan mendukung langkah mengajukan interpelasi kepada Presiden.
Yang terakhir menangkap kesan, para penggagas hak interpelasi hanya mencari ”sensasi” belaka. Ketika mendapati citra DPR kembali melemah setelah kisruh soal pimpinan komisi, sebagian anggota parlemen hendak menunjukkan diri bahwa mereka masih on the track seperti yang digembar-gemborkan di kala kampanye. Pada proses politik yang berlangsung di parlemen sekarang ini mesin citra digencarkan layaknya lobi-lobi politik.
Setiap periode, di lembaga parlemen selalu ada yang mewakili sebagai ikon. Di masa Soeharto ada Sri Bintang Pamungkas dan Bambang Warih sebagai ikon karena kekritisan mereka berdua.
Di masa Abdurrahman Wahid ada ”gank koboi” yang berkampanye untuk melengserkan presiden kiai tersebut. Di masa Megawati Soekarnoputri, ikon parlemen nyaris tenggelam. Waktu itu, FKB sebetulnya memiliki persoalan dengan PDIP dan Megawati, tapi dinamika di parlemen tak sampai mengharuskan mereka jadi ”pengganggu” kekuasaan Megawati.
Sebagai hak konstitusional DPR, interpelasi sebetulnya sesuatu yang lumrah. Akan tetapi, pengajuan hak itu dikhawatirkan menjadi titik masuk bagi sengketa legislatif versus eksekutif.
Misalkan, pengajuan hak interpelasi dikabulkan Rapat Paripurna, maka Presiden Yudhoyono wajib datang untuk menjelaskan soal surat penarikan diri surat presiden terdahulu yang berisi tentang pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto dan pengangkatan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI.
Bisa saja Presiden Yudhoyono tidak mau hadir ke Gedung DPR, karena kemelut internal di DPR belum dapat diselesaikan. Ini pasti memercikkan konflik dua lembaga itu.
Sejauh ini Ryamizard—juga Kapolri Da’i Bachtiar—dilarang hadir dalam rapat dengan Komisi I DPR jika kedatangannya untuk menjalankan fit and proper test. Sementara itu, menteri-menteri lain sudah diperbolehkan Presiden Yudhoyono untuk menghadiri rapat kerja dengan komisi-komisi DPR.
Jika Presiden Yudhoyono hadir atau mewakilkan kepada salah satu menterinya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dewan dalam surat interpelasi, dua hal bisa terjadi: Pertama, DPR menerima jawaban Pemerintah dan setuju dengan segala rencana pemerintah terkait penggantian Panglima TNI. Jika skenario optimistis ini terwujud, kemelut soal Panglima TNI teratasi dan hubungan legislatif-eksekutif akan baik-baik saja (normal).
Kedua, DPR menolak penjelasan Pemerintah karena perbedaan tafsir soal UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kalau ini yang terjadi jelas politik nasional akan panas.
Sejauh ini ada beda tafsir antara Komisi I dengan Pemerintah. Komisi I DPR menilai apabila setelah 20 hari, DPR tidak menolak atau menjawab surat dari Presiden (Megawati), Jenderal Ryamizard Ryacudu otomatis menjadi Panglima TNI sesuai dengan Pasal 13 Ayat 9 UU TNI.
Menurut Komisi I setelah 5 November 2004, mestinya Ryamizard ditetapkan sebagai Panglima TNI yang baru. Sementara itu, Pemerintah memandang surat Megawati sudah dicabut sehingga hal-ihwal mengenai pengangkatan Panglima TNI yang baru terserah Presiden SBY.
Pemerintah menganggap ini soal administrasi belaka. Bayangkan apa yang terjadi jika dua pihak bersitegang: DPR menilai Presiden SBY telah melanggar UU TNI, sedangkan Pemerintah enteng-enteng saja tidak merasa telah menabrak undang-undang!
Ujian
Menyaksikan kisruh internal di DPR saat ini, penulis pesimistis pengajuan hak interpelasi nanti berlangsung normal-normal saja. Pihak-pihak yang pro-interpelasi memiliki beban turunan dari persaingan politik sejak Pemilu Presiden hingga Pemilihan Pimpinan MPR RI.
Elemen pokok Koalisi Kebangsaan dari kalangan PDIP sempat bilang tak akan berlama-lama untuk menyudahi pemerintahan SBY. Walaupun diucapkan orang per orang, hal ini sedikit banyak akan memengaruhi hubungan legislatif-eksekutif.
Belajar dari Gus Dur, ia dilengserkan juga karena manuver getol orang per orang sebelum membesar menjadi bola panas.
Dalam kondisi demikian, hemat saya, hubungan legislatif-eksekutif mendatang akan sangat ditentukan cara bagaimana legislatif menyelesaikan kemelut internalnya. Apabila dua blok politik segera menemukan solusi pimpinan komisi, proses interpelasi akan normal. Sebaliknya, jika di antara dua koalisi terus bertahan dengan sikapnya, interpelasi akan mengalami politisasi hebat. Taruhannya politik nasional akan overheating.
Andaikata, kisruh soal penggantian Panglima TNI dilokalisasi menjadi beda tafsir tentang UU TNI antara DPR dan Pemerintah, penyelesaiannya ada di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pun kalau dua pihak bermaksud menguji UU TNI terhadap UUD 1945.
Sejauh ini bolanya masih liar, tak ada fokus ke mana pihak-pihak pro interpelasi akan melangkah. Interpelasi adalah ujian sulit bagi Presiden Yudhoyono, apakah ia akan terprovokasi atau terus melaju dengan keyakinannya soal penggantian Panglima TNI. Mungkin saja, SBY akan meniru langkah Gus Dur, sebab kekuasaannya yang memiliki legitimasi tinggi (dipilih rakyat) tidak mudah digoyah.
Terakhir, agaknya publik jangan sekadar memberi waktu seratus hari kepada Pemerintahan Yudhoyono untuk menunjukkan kinerjanya. Para wakil rakyat yang terhormat itu juga harus dievaluasi dalam seratus hari agar tidak hanya asyik-masyuk memikirkan kursi (kuasa), tapi menerbitkan legislasi (perundang-undangan).
Diposting oleh
pak guru teddy
4 komentar:
nice gan, really helps
Thx mas! Mbantu bgt!:D
membantu tugas bgt nih :)
banyak banget :(
tapi thx :DD
Posting Komentar